SURABAYA (Mediabidik) - Tokoh pers senior Jawa Timur Dhimam Abror turut memberikan komentar tentang gambaran Pilwali Surabaya 2020 mendatang. Dhimam menilai dalam menyambut tahun politik tersebut gerakannya sudah mulai ada saat ini.
Dhimam secara terus terang bahkan menyebut nama-nama yang sudah mulai bermunculan saat ini. Seperti Whisnu Sakti Buana, Zahrul As'ad atau biasa disapa Gus Han serta juga nama Kepala Bappeko Eri Cahyadi.
"Yang pertama pasti ekspektasinya orang mengharapkan figur baru nanti tidak kalah dari Risma. Dan itu berarti ekspektasinya sangat tinggi, sehingga kemudian siapapun yang muncul selalu berusaha bahwa saya the next Risma," ujar dia.
Saat ini jelas Dhimam sudah mulai ada yang mengklaim the next Risma. "Ini penerus Risma, sudah banyak yang saling mengklaim begitu. Nah inilah the next Risma, Risma berikutnya, inilah orangnya direstui Risma, ini yang didukung Risma," bebernya.
Meski masih banyak nama Risma yang beredar ini, Dhimam mengaku memiliki perspektif tersendiri. "Setiap masa itu ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Era Risma itu kita hormati, kita anggap sebagai orang yang bagus dalam membangun Surabaya, tapi di era berikutnya sudah berbeda lagi. Tidak harus dibutuhkan seorang Risma karena tantangannya beda," jelas tokoh pers Jawa Timur ini.
Tentang Risma efek tersebut, Dhimam mengakui memang itu ada. "Tapi saya menyebutnya pisau bermata dua. Bagi calon yang misalnya secara sengaja pengen memanfaatkan Risma efek. Yang pertama mungkin dia akan mendapatkan simpati karena mendapat dukungan, tetapi yang kedua pisaunya bermata dua tadi bisa negatif kalau dia dianggap bonekanya Risma dan belum tentu didukung," kata pria yang juga politisi dari Partai PAN ini.
Apalagi menurut Dhimam citra Wali Kota Risma mulai tercederai saat ini. "Risma pernah sensi karena pernah mendapat kritikan. Dia diserang soal mafia perizinan yang disebut-sebut melibatkan anak kandung dan pejabat pemkot yang jadi anak emasnya. Risma mati-matian menampiknya. Toh serangan terbuka itu tetap mencederai citranya," tegas Dhimam.
Soal adanya gerakan Risma Selamanya di Surabaya, Dhimam menilai itu bukan gerakan murni. "Kamu sekarang bisa bikin fakta itu. Arek 10 suruh teriak di Bungkul, Risma...Risma...Risma, terus kamu foto sendiri. Kalau saya bilangnya dalam ilmu politik atau dalam ilmu komunikasi itu kan konstruksi," jelas Dhimam.
Adanya Gerakan Risma Selamanya ini tegas Dhimam buruk bagi pendidikan demokrasi. "Tidak ada orang itu selamanya. Tiap orang punya massa, tiap massa punya orang. Sepuluh tahun yang lalu oke Risma, tapi kalau selamanya apakah bisa?. Sekarang tantangannya beda 2020 kita sudah MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN," kata Dhimam.
Tentang nama-nama yang sudah bermunculan saat ini Dhimam beranggapan semua masih dalam tahap awal. "Nama yang muncul punya kapabilitas masing-masing. Dan sekali lagi tidak harus perlu di standarkan atau disamakan dengan Risma," tutur mantan ketua PWI Jatim ini.
"Wisnu Sakti Buana orang yang berpengalaman di birokrasi juga sudah 5 tahun lebih mendampingi Risma. Di partai juga matang jaringan masyarakat juga luas," lanjut Dhimam.
"Sementara Gus Han pusat figur baru. Kemunculannya menarik simpati banyak orang. Saya mendengar dia juga secara intelektual bagus dan juga dia trahnya bagus. Kalau Eri semua kita tahu dia orang yang sekarang ada di birokrasi. Jaringan birokrasi kuat, dekat dengan Risma," tuturnya kembali.
Namun Dhimam menilai itu hanyalah nama sementara saja. "Jangan lupa nama-nama itu, ada nama yang lain. Itu hanya nama yang sekarang muncul di permukaan, jangan-jangan nama yang muncul di permukaan itu nanti belum tentu memenuhi standart partai atau persyaratan administratif KPU," imbuh pria yang memiliki hobi bermain bola ini.(pan)
Comments
Post a Comment