SURABAYA (Mediabidik) - Penetapan kawasan cagar budaya dengan tujuan melindungi seluruh bangunan-bangunan yang mempunyai nilai sejarah (heritage) yang dicanangkan oleh pemerintah kota (Pemkot) Surabaya.
Menua kritikan dari anggota Komisi C DPRD Surabaya
Vinsensius Awey, menurutnya penentuan kawasan cagar budaya di beberapa lokasi masih dinilai tidak konsisten, karena tidak menyebutkan aturannya secara detail, terutama yang menyangkut soal radius.
Pasalnya, yang dilindungi hanya di kawasan nol jalan, itu pun tidak disiapkan anggaran untuk perawatannya, sementara bangunan didalamnya masih boleh dibangun apapun sesuai kebutuhan pemiliknya, termasuk gedung-gedung pencakar langit.
"Tetapi itu tidak bisa disalahkan, karena aturannya memang tidak sampai kepada radius tertentu, hanya saja dampaknya, bangunan lama yang dipertahankan justru membahayakan pejalan kaki, karena tidak ada perkuatan lagi, dan dalam waktu tertentu saya pastikan bangunan itu hancur dan roboh," ucapnya. Selasa (5/8/2017)
Dia mencotohkan, mempertahankan fasad di area Jl Tunjungan merupakan upaya yang sia-sia, karena bangunan yang berada dibelakangnya yang selama ini berfungsi sebagai penopang (perkuatannya) sudah tidak ada lagi.
"Contohnya Platinum (Jl Tunjungan-red) yang saat ini sedang membangun, mereka juga hanya punya kewajiban untuk mempertahankan bangunan lama tampak depan, jadi sepanjang itu masih bisa dilakukan dan seijin tim cagar budaya melalui Dinas Pariwisata, maka tidak ada pelanggaran disana," tandasnya.
Beda dengan Jakarta, lanjut Awey, pemprov DKI bisa memberikan pembiayaan kepada seluruh bangunan yang masuk kategori cagar budaya, yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan. Dan kini menjadi destinasi baru.
"Caranya, seluruh bangunan yang ada dikawasan cagar budaya di sewa Pemprov, dengan demikian perawatannya bisa dibiayai APBD, tetapi kemudian mereka sewakan kembali kepada pihak ketiga, untuk cafe, resto, dll, ini merupakan langkah yang cerdas, harusnya ini bisa dilakukan oleh Pemkot Surabaya," pungkasnya. (pan)
Menua kritikan dari anggota Komisi C DPRD Surabaya
Vinsensius Awey, menurutnya penentuan kawasan cagar budaya di beberapa lokasi masih dinilai tidak konsisten, karena tidak menyebutkan aturannya secara detail, terutama yang menyangkut soal radius.
Pasalnya, yang dilindungi hanya di kawasan nol jalan, itu pun tidak disiapkan anggaran untuk perawatannya, sementara bangunan didalamnya masih boleh dibangun apapun sesuai kebutuhan pemiliknya, termasuk gedung-gedung pencakar langit.
"Tetapi itu tidak bisa disalahkan, karena aturannya memang tidak sampai kepada radius tertentu, hanya saja dampaknya, bangunan lama yang dipertahankan justru membahayakan pejalan kaki, karena tidak ada perkuatan lagi, dan dalam waktu tertentu saya pastikan bangunan itu hancur dan roboh," ucapnya. Selasa (5/8/2017)
Dia mencotohkan, mempertahankan fasad di area Jl Tunjungan merupakan upaya yang sia-sia, karena bangunan yang berada dibelakangnya yang selama ini berfungsi sebagai penopang (perkuatannya) sudah tidak ada lagi.
"Contohnya Platinum (Jl Tunjungan-red) yang saat ini sedang membangun, mereka juga hanya punya kewajiban untuk mempertahankan bangunan lama tampak depan, jadi sepanjang itu masih bisa dilakukan dan seijin tim cagar budaya melalui Dinas Pariwisata, maka tidak ada pelanggaran disana," tandasnya.
Beda dengan Jakarta, lanjut Awey, pemprov DKI bisa memberikan pembiayaan kepada seluruh bangunan yang masuk kategori cagar budaya, yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan. Dan kini menjadi destinasi baru.
"Caranya, seluruh bangunan yang ada dikawasan cagar budaya di sewa Pemprov, dengan demikian perawatannya bisa dibiayai APBD, tetapi kemudian mereka sewakan kembali kepada pihak ketiga, untuk cafe, resto, dll, ini merupakan langkah yang cerdas, harusnya ini bisa dilakukan oleh Pemkot Surabaya," pungkasnya. (pan)
Comments
Post a Comment