Mediabidik.com - Sidang lanjutan dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp.700 juta yang dilakukan mantan guru besar Unair Udin Panjaitan warga jln Dharma Husada Indah Barat II Surabaya kembali digelar diruang Tirta 1, Senin (21/02/2022).
Kali ini sidang mengagendakan keterangan saksi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sulfikar dari Kejari Tanjung Perak telah menghadirkan dua saksi diantaranya, Soetan Syahrir merupakan kakak ipar terdakwa dan saksi Yongky Kuspriyanto Wibowo selaku lurah Kalijudan.
Pada keterangannya didepan Majelis hakim yang diketuai Darwanto, saksi Soetan Syahrir mengatakan bahwa tahan milik terdakwa legalitas tanahnya masih petok D.
"Tanah tersebut rencana akan dibeli Zainab Ernawati atas perintah bosnya. Surat-surat kepemilikan tanah milik terdakwa diserahkan ke Erna karena waktu itu terdakwa ada kegiatan ke Australia," terang saksi Soetan Syahrir.
Dijelaskan oleh saksi, saat terjadi Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB) di kantor notaris Amrozi, ada saksi Willy dan saksi korban Nagasaki disusul saksi Erna dan teman-temannya.
"Tidak ada tanda tangan dalam bentuk apapun dikantor Notaris Amrozi, saya juga tidak tahu kalau Nagasaki menyerahkan uang ke Devi selaku menantu terdakwa," tegasnya.
Saksi membenarkan adanya transaksi melalui transfer dari Nagasaki ke Devi sebanyak 2 kali yang pertama 205 juta dan kedua 95 juta. Saksi juga mengaku menerima uang 25 juta dari Erna lalu uang itu oleh Erna juga dibagi kepada makelar yang lainnya.
Majelis hakim menanyakan kepada Soetan, apakah uang Nagasaki sudah dikembalikan oleh terdakwa ?, oleh saksi dijawab belum dikembalikan.
Terpisah kuasa hukum korban, Johan Wijaya SH mengatakan, keterangan saksi Soetan patut dipertanyakan faktanya. Saat ditanya JPU tentang adanya ikatan perjanjian ikatan jual beli (IPJB) itu dia mengaku tidak tanda tangan dan tidak paraf. Padahal ada dokumen diperlembarnya dia paraf dan dibelakangnya dia tanda tangan.
Ditambahkannya, pada IPJB no 6 tanggal 26 Desember tahun 2018 sudah jelas bahwa yang bertanda tangan jual beli adalah terdakwa dengan Nagasaki, bukan terdakwa dengan Erna.
"Terdakwa saat ini terlalu diistimewakan oleh Majelis hakim dengan pertimbangan kemanusian yakni sudah tua dan sakit lumpuh. Padahal kami punya bukti video kalau terdakwa bisa berjalan sendiri, turun dari kursi rodanya dan berjalan ke toilet," bebernya.
Pada perkara ini, kuasa hukum korban meminta Majelis hakim harus mengedepankan rasa keadilan. Yakni berani memutus maksimal dan melakuan penahanan pada terdakwa. Pasalnya, sampai saat ini terdakwa tidak beritikad baik untuk mengembalikan kerugian saksi korban. (pan)
Foto : Johan Wijaya penasehat hukum korban Nagasaki Wijaya (insert foto terdakwa).
Comments
Post a Comment