SURABAYAIMediabidik.Com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Surabaya tengah dibahas dan menjadi sorotan dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya.
Program yang dirancang untuk memberikan makanan gratis kepada masyarakat, terutama anak-anak sekolah, sesuai janji kampanye Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dinilai penting tetapi menimbulkan pro dan kontra, terutama terkait alokasi anggarannya yang mencapai Rp1 triliun lebih.
Anggota Komisi B DPRD Surabaya dari Fraksi PDI Perjuangan, Baktiono, menyampaikan pandangannya kepada awak media Dewan, pada Rabu (13/11/2024). Menurutnya, program ini belum bisa langsung disetujui karena perlu pertimbangan mendalam, baik secara teknis maupun yuridis.
"Anggaran ini sangat besar, mencapai Rp1 triliun lebih. Tentu ini memengaruhi postur APBD yang sudah disahkan. Apalagi, mekanisme penggunaan anggarannya melalui MPAK (Mendahului Perubahan Anggaran Keuangan), yang hanya boleh diterapkan dalam situasi darurat," jelas Baktiono.
Baktiono menjelaskan bahwa mekanisme MPAK memungkinkan eksekutif menggunakan anggaran tanpa persetujuan DPRD, tetapi harus memenuhi syarat keadaan darurat atau force majeure. Ia mencontohkan situasi seperti pandemi COVID-19 atau bencana alam sebagai kondisi yang memenuhi kriteria force majeure.
"Pertanyaannya, apakah makan siang gratis masuk kategori darurat? Ini yang perlu kita bahas bersama. Jangan sampai mekanisme ini disalahgunakan karena dampaknya bisa berujung pada ketidakseimbangan anggaran," tegasnya.
Ia juga mengkritisi pengajuan program ini yang dinilai kurang matang. "Pejabat terkait, termasuk Pj Wali Kota, seharusnya mempelajari lebih dulu dasar hukum dan dampaknya terhadap postur APBD. Ini bukan sekadar program pusat yang bisa langsung diimplementasikan tanpa memperhitungkan anggaran daerah," tambah Baktiono.
Baktono juga mengingatkan bahwa pengalokasian anggaran Rp1 triliun untuk program MBG berpotensi mengganggu program prioritas lain yang telah menjadi mandat dalam penganggaran daerah.
"Ada yang wajib dipenuhi, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar lainnya. Anggaran ini sudah memiliki porsi yang diatur undang-undang. Kalau MBG dibiayai dari APBD, tentu akan berdampak pada sektor-sektor ini," ujarnya.
Ia menyebut contoh konkret seperti insentif RT/RW, pengadaan rumah sakit baru, serta program Universal Health Coverage (UHC) yang telah berjalan di Surabaya.
"Surabaya sudah berhasil memberikan layanan kesehatan gratis hanya dengan KTP atau KK. Jangan sampai pelayanan ini terganggu karena adanya pembagian anggaran yang tidak proporsional," kata Baktiono.
Menurut Baktono, pembahasan program ini di Banggar masih menemui kebuntuan karena perbedaan pendapat antara anggota dewan. "Ada yang setuju karena program ini menjawab kebutuhan masyarakat kurang mampu, terutama anak-anak sekolah. Namun, mayoritas anggota menilai program ini perlu dirumuskan ulang agar sesuai dengan kemampuan daerah," ungkapnya.
Dari hasil rapatnya, Baktiono mencatat bahwa mayoritas anggota Banggar meminta kajian lebih mendalam terkait dampak dan efektivitas program MBG.
"Setidaknya, kita harus memastikan anggaran sebesar itu digunakan secara tepat sasaran, transparan, dan tidak mengganggu alokasi untuk kebutuhan lain," tegasnya.
Baktiono juga menekankan pentingnya landasan hukum yang kuat untuk mengimplementasikan program MBG. "Program ini memang diusulkan pusat, tapi tetap harus selaras dengan peraturan daerah. Jangan sampai kita asal menyetujui tanpa pemahaman mendalam," ujarnya.
Ia berharap diskusi ini menghasilkan solusi terbaik bagi masyarakat Surabaya. "Masyarakat pasti berharap besar pada program ini. Namun, kita harus bijak dalam menyusun prioritas. Jangan sampai anggaran sebesar itu malah tidak efektif atau bahkan melanggar peraturan," tutup Baktiono.(red)
Comments
Post a Comment