SURABAYA (Media Bidik) - Sarana transportasi trem sebenarnya sudah tidak asing lagi di Kota Surabaya. Sekitar tahun 1920 sampai 1960-an, Surabaya memiliki moda transportasi tersebut, berupa trem uap dan trem listrik. Trem uap mulai beroperasi pada 1920 sampai 1940-an yang bermula dari depo/stasiun di kawasan Bumiharjo, Joyoboyo menuju Jl. Diponegoro – Jl. Pasar Kembang – Pasar Turi – Tanjung Perak. Kemudian, sejak 1940 hingga 1960-an, trem uap digantikan trem listrik dengan jalur depo/stasiun Bumiharjo melewati Jl. Raya Darmo sampai Jl. Tunjungan serta finish di Jl. Pahlawan.
Saat ini, pemkot berencana menghidupkan kembali moda transportasi trem sebagai salah satu alternatif mengurangi ketergantungan akan kendaraan pribadi. Pasalnya, volume kendaraan pribadi tiap tahun selalu meningkat. Kondisi tersebut diprediksi semakin menambah parah beban ruas jalan. Oleh karenanya, rencana pembangunan transportasi massal berupa trem untuk koridor utara-selatan maupun monorel untuk timur-barat mendapat tanggapan positif dari kalangan akademisi.
Pakar transportasi perkotaan Ir. Wahju Herijanto, MT mengatakan, tingginya aktivitas ekonomi di kota besar seperti Surabaya otomatis berdampak pada peningkatan mobilitas orang maupun barang. Trem dipandang mampu menjawab problem ini mengingat trem tergolong semi rapid transit yang mampu mengakomodir 10.000 hingga 20.000 penumpang per jam. Dengan sifatnya yang dedicated line (jalur khusus rel), trem punya nilai plus pada ketepatan waktu. Sebab, jalurnya tersendiri, bebas macet/hambatan.
Di sisi lain, Wahju menilai tol tengah bukan solusi yang pas untuk Surabaya. Menurut dia, tol tengah hanya akan memacu pertumbuhan kendaraan pribadi. Dengan tren pertumbuhan kendaraan seperti saat ini, Wahju memperkirakan umur tol tengah tidak akan lama. "Kita seharusnya belajar dari Jakarta. Di sana ternyata tol tengah tidak menyelesaikan masalah," ujarnya.
Parahnya lagi, selain sifatnya yang wajib bayar sehingga sangat tidak ekonomis bagi warga, tol tengah, kata Wahju, justru semakin menambah tingkat polusi udara di suatu kota. Logikanya, semakin banyak kendaraan pribadi yang melintasi kota, tentu juga membuat kadar gas buang/emisi semakin tinggi.
Tak hanya itu, Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS ini membeberkan, salah satu nilai minus tol tengah yakni sifatnya yang eksklusif membuat potensi di sisi kiri-kanannya mati. Berbeda dengan konsep jalan lingkar luar maupun lingkar dalam yang bebas hambatan. Di situ (jalan lingkar luar dan lingkar dalam), perekonomian kian tumbuh lantaran aktivitas usaha masyarakat bisa bergeliat di sisi jalan.
Kendati demikian, Wahju mewanti-wanti agar konsep transportasi trem dan monorel harus diimbangi dengan angkutan feeder yang memadai. Sebab, tanpa feeder, konsep transportasi massal yang terintegrasi tidak akan berjalan. Feeder inilah yang menghubungkan tempat asal penumpang maupun tempat tujuan yang tidak secara langsung bersinggungan dengan jalur trem.
Terlepas dari itu, pria kelahiran Jogjakarta ini juga berharap tercipta suatu gerakan sadar angkutan massal. Intinya, masyarakat mau beralih dari kebiasaan lama yang terlalu mengandalkan kendaraan pribadi. "Masyarakat di kota-kota maju budayanya sudah berorientasi pada angkutan massal. Tidak masalah mereka harus jalan kaki sedikit," tuturnya.
Setelah skema transportasi massal yang terintegrasi berjalan, menurut Wahju, pemkot perlu membuat suatu regulasi pembatasan kendaraan pribadi yang masuk kota. Misalnya dengan konsep jalan berbayar (ERP) seperti yang diterapkan kota-kota di negara maju seperti Singapura.(pan)
Comments
Post a Comment