SURABAYA (MediaBidik) - Usai sudah pelaksanaan The Third Preparatory Committee of Habitat III (PrepCom3) UN Habitat yang berlangsung 25-27 Juli lalu, yang sempat melambungkan Jalan Tunjungan ke dunia internasional. Merupakan jalan legendaris yang jadi ikon kota Surabaya, sebagai tempat digelar Festival Tunjungan yang mampu menarik kunjungan wisatawan luar negeri dan dalam negeri.
Sayangnya, usai hajatan internasional yang melibatkan 193 negara dengan 4500 peserta ini, Jalan Tunjungan kembali seperti sepi seperti sedia kala. Sepi dari akvitas baik ekonomi, maupun sosial budaya. Yang ramai hanyalah lalu lalang kendaraan menyesaki Jalan Tunjungan yang kini mulai menyempit setelah dikepras 2 meter untuk pembangunan pedestrian.
Dari hasil pantauan, puluhan toko di Jalan Tunjungan masih banyak yang tutup. Rolling door tertutup rapat yang menandakan tidak ada kegiatan. Kalau pun rolling door terbuka, itu pun hanya sebagian.
Itu bukan menandakan ada aktivitas pergerakan ekonomi. Namun karena toko di sana sudah berubah menjadi tempat parkir seperti yang ada di dekat Gedung ek Siola yang kini menjadi gedung pelayanan dan pemerintahan itu.
Bahkan ada toko yang sama sekali sudah tutup puluhan tahun sehingga yang tertinggal hanya tampak depan. Sedangkan bangunan belakang sudah tidak ada. Seperti deretan toko di sisi selatan Hotel Mojopahit.
Padahal deretan toko-toko itu tampak bersih dan menarik. Bahkan nama-nama toko yang tertera di dinding atas itu sudah bisa terbaca tidak seperti dulu yang buram dan sulit dibaca. Ini karena Pemkot Surabaya merenovasi toko dengan mengecat ulang.
Pergerakan orang di sana juga sepi. Ini terlihat dari jarangnya masyarakat yang menapak pedestrian di sepanjang jalan di sana. Kalau pun ada mereka yang jalan kaki di atas pedestrian yang lebar dan lega, itu pun bisa dihitung dengan jari.
Sebenarnya Jalan Tunjungan ini sudah bagus dibandingkan sebelumnya. Kesan kumuh sudah tidak ada lagi. Malah sebaliknya, kesan eksotik dan klasik mewarnai kawasan di sana. Lampu gantung berwarna-warnai di tengah jalan, lampu pedestrian dengan konsep klasik dan bangku taman, menjadikan kawasan tersebut sebenarnya nyaman untuk disinggahi.
"Sebenarnya kondisi Jalan Tunjungan memang nyaman untuk dipakai jalan-jalan. Sayangnya tanpa didukung dengan adanya kegiatan yang mampu membuat masyarakat bisa berlama-lama di Jalan Tunjungan," tegas Agus Hariadi, warga Tambaksari ini.
Seharusnya di sana ada berbagai macam toko yang menjual pernak-pernik Surabaya, dari makanan khas hingga kaos Surabaya. Jadi, mereka yang berjalan-jalan di sana tidak sekedar jalan, namun bisa membeli oleh-oleh dan juga melihat berbagai kegiatan sosial budaya. "Jadi konsepnya seperti di Malioboro Jogjakarta," kata Agus lagi.
Kepala Bagian Humas Kota Surabaya M. Fikser menyatakan Pemkot Surabaya sendiri memiliki konsep berupa mlaku-mlaku nang Tunjungan dan dihidupkan kembali. Harapannya bisa mengembalikan masa kejayaan Jalan Tunjungan seperti dulu kala.
"Pemkot mengecat dan menata toko di sana. Menciptakan suasana trotoar yang nyaman yang menjadi hak pejalan kaki, serta mempertontonkan wajah asli bangunan lama di kawasan Tunjungan yang rata-rata merupakan peninggalan bersejarah zaman kolonial yang harus di lestarikan," jelasnya.
Pemkot juga telah menyulap eks Gedung Siola menjadi museum sejarah Pemkot Surabaya dan kantor sejumlah dinas yang langsung berurusan dengan pelayanan publik. Harapannya masyarakat bisa jalan-jalan sekaligus bisa mengurus di pelayanan public.
Terkait dengan masih banyaknya toko yang tutup, masih lanjutnya, pemilik toko seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Pemkot karena telah merenovasi tokonya. Jadi mereka harus memfaatkannya dengan membuka toko itu kembali.
"Kami sudah koordinasi dengan mereka. Seharusnya mereka tanggap dengan membuka toko untuk meramaikan Jalan Tunjungan. Apalagi jalan ini sudah dikenal banyak orang, baik dalam maupun luar negeri," katanya.(pan)
Comments
Post a Comment